Sejarah Perkembangan Penemuan DNA (Asam deoksiribonukleat)

DNA pertama kali berhasil dimurnikan pada tahun 1868 oleh ilmuwan Swiss Friedrich Miescher di Tubingen, Jerman, yang menamainya nuclein berdasarkan lokasinya di dalam inti sel. Namun, penelitian terhadap peranan DNA di dalam sel baru dimulai pada awal abad 20, bersamaan dengan ditemukannya postulat genetika Mendel. DNA dan protein dianggap dua molekul yang paling memungkinkan sebagai pembawa sifat genetis berdasarkan teori tersebut.
Miescher menyelidiki susunan kimia dari nukleus sel. Ia mengetahui bahwa nukleus sel tidak terdiri dari karbohidrat, protein maupun lemak, melainkan terdiri dari zat yang mempunyai pengandungan fosfor sangat tinggi. Oleh karena zat itu terdapat di dalam nukleus sel, maka zat itu disebutnya nuklein. Nama ini kemudian diubah menjadi asam nukleat, karena asam ikut menyusunnya
Dua eksperimen pada dekade 40-an membuktikan fungsi DNA sebagai materi genetik. Dalam penelitian oleh Avery dan rekan-rekannya, ekstrak dari sel bakteri yang satu gagal men-transform sel bakteri lainnya kecuali jika DNA dalam ekstrak dibiarkan utuh. Eksperimen yang dilakukan Hershey dan Chase membuktikan hal yang sama dengan menggunakan pencari jejak radioaktif (bahasa Inggris: radioactive tracers).
Misteri yang belum terpecahkan ketika itu adalah: "bagaimanakah struktur DNA sehingga ia mampu bertugas sebagai materi genetik". Persoalan ini dijawab oleh Francis Crick dan koleganya James Watson berdasarkan hasil difraksi sinar X pada DNA oleh Maurice Wilkins dan Rosalind Franklin.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Fisher pada tahun 1880. Dari hasil risetnya ditemukan adanya zat-zat pirimidin dan purin di dalam asam nukleat. Temuan ini dikembangkan lagi oleh Albreent Kossel yang menghasilkan temuan dua pirimidin yaitu sitosin dan timin dan dua purin yaitu adenin dan guanin di dalam asam nukleat, sehingga atas penemuannya ia mendapatkan hadiah nobel pada tahun 1910.
Pada tahun 1920-an, dengan pewarna ungu DNA yang khas, yang dikembangkan oleh ahli kimia Jerman, Robert Feulgen, DNA ditemukan terletak secara ekslusif pada kromosom. Karena itu, DNA merupakan lokasi yang diharapkan bagi suatu bahan genetik. Pada tahun yang sama Phoebus Levine dari Institut Rockefeller (seorang ahli biokimia kelahiran Rusia) mengungkapkan bahwa gula DNA adalah deoksiribosa
Avery Machlead dan Mc Arthy (1944) memberi penegasan terhadap penemuan terdahulu bahwa DNA mempunyai hubungan langsung dengan keturunan. Selanjutnya penelitian Chargaff di tahun 1955, melalui hidrolisis DNA membuktikan bahwa pada berbagai macam makhluk ternyata banyaknya adenin selalu kira-kira sama dengan banyaknya timin (A=T), demikian pula dengan sitosin dan guanin (S=G). Dengan perkataan lain, aturan Ghargaff menyatakan bahwa perbandingan A/T dan S/G selalu mendekati satu.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh ahli biologi molekuler, James Dewey Watson dan Francis H.C. Crick pada tahun 1953. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa DNA tidak berdiri sendiri sebagai suatu rantai tunggal melainkan sebagai dua rantai yang saling berpilin, dengan basa pada rantai yang satu melekat pada basa rantai yang lain. Dengan lain perkataan, DNA adalah suatu heliks ganda. Teori model ini dikukuhkan dan disempurnakan oleh M.A.F. Wilkins pada tahun 1961. Oleh karena penemuan ini mereka bertiga mendapat hadiah nobel pada tahun 1962 dalam kedokteran dan fisiologi.

Komentar